Pengaruh Inflasi terhadap Harga Saham

Pengaruh Inflasi terhadap Harga Saham

Salah satu berita ekonomi makro yang sering menjadi perhatian pelaku pasar adalah pengumuman inflasi. Terkadang kenaikan dan penurunan IHSG seringkali dikaitkan dengan pengaruh kenaikan dan penurunan inflasi. 

Sebenarnya, seberapa besar pengaruh inflasi terhadap harga saham? Sebelum menjelaskannya lebih dalam, anda perlu memahami definisi inflasi terlebih dahulu. 

Secara sederhana, inflasi merupakan kenaikan harga-harga barang kebutuhan secara umum. Jadi, kalau hanya beberapa jenis barang saja yang mengalami kenaikan, maka anda tidak bisa mengatakan terjadi inflasi. 

Beberapa contoh inflasi: Dahulu harga bensin Rp500. Sekarang harga bensin Rp6.000. 7 tahun lalu harga nasi bungkus Rp3.000. Sekarang harga nasi bungkus Rp10.000. Itu adalah contoh dampak dari adanya inflasi. 

Oke, sekarang apa pengaruh inflasi ke harga saham? 

Pengaruh inflasi terhadap harga saham sebenarnya tidak terjadi dalam jangka pendek. Artinya begini, ketika inflasi bulanan diumumkan naik sebesar sekian persen, maka sesungguhnya dampaknya ke pasar saham tidak akan langsung terasa di hari itu juga. Pengaruh inflasi terhadap harga saham akan terjadi ketika efek inflasi tersebut berdampak sesaat kemudian pada sektor usaha dan perekonomian di Indonesia. 

Kalau inflasi di Indonesia mengalami kenaikan secara terus-menerus secara tidak wajar, sehingga turut menganggu perekonomian, maka IHSG secara bertahap pasti akan anjlok. 

Memang di pasar saham ada banyak sekali faktor yang mempengaruhi pergerakan harga saham, bukan hanya inflasi saja. Tapi inflasi adalah salah satu faktor yang bisa memiliki pengaruh ke pasar saham.  

Sebagai contoh, ketika inflasi naik secara drastis dalam kurun waktu pendek, maka hal ini bisa berdampak pada perusahaan. Perusahaan akan mengalami kenaikan harga bahan baku secara drastis, bahan bakar, pembengkakan biaya produksi perusahaan. Hal ini pada akhirnya bisa menurunkan nilai laba kotor, laba operasional dan laba bersih perusahaan. 

Nah, kalau beban perusahaan membengkak dan laba bersih perusahaan turun, hal ini bisa menurunkan ekspektasi pelaku pasar terhadap harga saham perusahaan. 

Itu kan teorinya Bung Heze. Praktinya gimana? Tanya anda penasaran.

Ya kita lihat saja tahun 2015 saat terjadi inflasi kita naik secara drastis, terutama sejak bulan Mei 2015 hingga Oktober 2015. Perhatikan tabel inflasi di bawah ini (Data Badan Pusat Statistik).

(Sumber gambar: bps.go.id)

Inflasi sebenarnya sudah mulai naik tajam sejak November 2014, tapi dampaknya baru terasa di Bulan Mei 2015 (ini yang namanya gelembung ekonomi). Hal ini pada akhirnya turut membuat harga saham jatuh, karena inflasi yang naik secara drastis juga berdampak ke kinerja perusahaan (kenaikan beban-beban operasional perusahaan). 

Ketika pemerintah mulai mengendalikan inflasi melalui kebijakan2 ekonomi, kita lihat IHSG bisa mulai bergerak stabil. Jadi, memang inflasi memiliki pengaruh ke harga saham, namun dampaknya tidak terasa secara cepat dan langsung. 

Kemudian anda bertanya kembali: "Pak Heze, inflasi yang wajar itu berada di angka berapa?" 

Sebenarnya tidak ada ukuran inflasi yang wajar dan sehat di angka berapa. Tapi kalau kita lihat negara2 di maju, nilai inflasinya memang hanya sekitar 1-2% saja. Kita tetap membutuhkan inflasi, karena inflasi sebenarnya juga menunjukkan adanya daya beli masyarakat yang cukup baik.

Pada umumnya, inflasi yang bagus adalah inflasi yang naik-turunnya stabil. Ini artinya pemerintah memang memiliki kebijakan2 yang berdampak pada sektor usaha, sehingga harga saham emiten2 pun juga turut terjaga dengan baik.  

Jadi, kalau suatu saat anda melihat nilai inflasi dari bulan ke bulan yang terus membengkak, padahal harga saham naik terus, maka inilah yang perlu diwaspadai, karena saat 'gelembung' itu meledak, harga saham akan jatuh sangat dalam.


Katalog produk digital dan jasa freelance indonesia, cek dibawah ini.

Dampak Positif dan Negatif Perubahan Nilai Tukar Rupiah

Dampak Positif dan Negatif Perubahan Nilai Tukar Rupiah

Berita ekonomi setiap harinya selalu menyajikan informasi nilai tukar Rupiah. Biasanya, disajikan informasi nilai tukar Rupiah terhadap USD. Pergerakan nilai tukar Rupiah selalu ber-fluktuatif. Kadang menguat, kadang melemah. Jika Anda belum paham mengenai kurs beli dan jual, serta penggunaannya, silahkan baca pos: Memahami Kurs Beli dan Kurs Jual.

Tapi, pernahkah Anda bertanya-tanya: Kalau nilai tukar Rupiah menguat atau melemah apa dampaknya bagi sektor usaha? Apakah nilai tukar menguat berarti pasti semakin baik untuk sektor usaha di Indonesia? Di pos ini, saya akan membahasnya. 

Nilai tukar Rupiah menguat menandakan bahwa perekonomian negara semakin baik. Artinya ketika pembagunan infrastruktur berjalan lancar, daya beli masyarakat meningkat, termasuk kebijakan tax amnesty yang baru2 ini berhasil menyerap sentimen positif dari masyarakat Indonesia, maka nilai tukar Rupiah akan menguat.  

Tetapi nilai tukar Rupiah yang terus menguat tanpa ada pelemahan sama sekali, juga memiliki dampak yang kurang baik. Apa dampak kurang baik yang dimaksud? Dampaknya adalah pada neraca perdagangan (terutama pada ekspor). Neraca perdagangan adalah catatan perdagangan ekspor dan impor dalam suatu perioda tertentu. Indonesia dikatakan memiliki surplus dalam neraca perdagangan apabila nilai eskpor lebih besar daripada impor. Sedangkan neraca perdagangan dikatakan defisit apabila nilai impor lebih besar daripada ekspor (pengeluaran ke luar negeri lebih besar daripada pemasukan ke dalam negeri).

Kegunaan neraca perdagangan adalah salah satu alat untuk mengukur kekuatan perekonomian negara. Neraca perdagangan surplus berarti Indonesia memiliki pendapatan dalam bentuk mata uang asing. Pendapatan mata uang asing ini digunakan untuk menutup utang luar negeri, memperoleh pinjaman luar negeri dan transaksi luar negeri. Demikian juga sebaliknya, jika defisit, maka pemerintah akan kekurangan uang untuk membayar utang luar negeri, transaksi luar negeri tidak bisa berjalan dengan lebih lancar.

Nah, salah satu yang mempengaruhi transaksi ekspor dan impor adalah mata uang suatu negara. Intinya:

Ketika nilai tukar menguat --> Menguntungkan untuk impor, merugikan untuk eskpor.

Ketika nilai tukar melemah --> Menguntungkan untuk ekspor, merugikan untuk impor.

"Kok bisa begitu Bung Heze?" Tanya Anda

Oke, saya akan jelaskan dengan ilustrasi. Saya berikan ilustrasi menggunakan nilai tukar Rupiah terhadap USD.

Karena berbagai kebijakan pemerintah yang menimbulkan sentimen positif, nilai tukar rupiah menguat menjadi:

Kurs beli: 1 USD = Rp11.700. 
Kurs jual: 1 USD = Rp12.000

Karena Dollar sedang perkasa dan pemerintah Amerika mengeluarkan kebijakan2 baru, dalam kurun waktu tertentu akhirnya  nilai tukar melemah menjadi:

Kurs beli: 1 USD = Rp11.900.  
Kurs jual: 1 ISD = Rp12.200

KASUS IMPOR

Apabila perusahaan2 di Indonesia impor barang dari negeri Paman Sam sebanyak $1.000, maka Indonesia harus menukarkan uang Rupiah ke dalam USD. Karena impor artinya membeli barang dari luar negeri, maka Indonesia harus menyediakan mata uang asing (membeli dollar). 

Mengacu pada contoh diatas, kurs jual saat itu adalah 1 USD = Rp12.000. Maka, Indonesia harus menukarkan uang rupiahnya sebanyak Rp12.000.000 (Rp12.000*$1.000) supaya bisa membayar harga barang impor seharga $1.000. 

Jika nilai tukar melemah menjadi 12.200, maka para importir harus menukarkan uang Rupiahnya sebanyak Rp12.200.000 (Rp12.200*$1000). Artinya, kalau kurs Rupiah melemah, para importir harus menyediakan uang yang lebih besar untuk membayar biaya transaksi impor. Sehingga, dapat disimpulkan, jika nilai tukar Rupiah melemah, maka akan memberikan dampak negatif bagi transaksi impor. 

KASUS EKSPOR

Ketika perusahaan Indonesia menjual barang ke negeri Paman Sam (ekspor), dengan nilai jual $4.000, maka Indonesia akan menerima uang masuk dalam bentuk mata uang asing (USD). Para eskportir harus menukarkan uangnya dalam bentuk mata uang Rupiah pasar valuta asing, agar bisa digunakan untuk bertansaksi dalam negeri (eksportir harus menjual Dollar untuk mendapatkan Rupiah). 

Jika mengacu pada kurs diatas, maka para eksportir harus menukarkan uang USD menjadi Rupiah. Dan eksportir akan mendapatkan nilai sebesar Rp46.800.000 ($4.000*Rp11.700). 

Jika nilai tukar Rupiah melemah menjadi Rp11.900, maka eksportir akan mendapatkan uang yang lebih besar dari penukaran mata uang USD kedalam Rupiah, yaitu sebesar Rp47.600.000 ($4.000*Rp11.900). Jadi, jika nilai tukar Rupiah melemah, maka akan memberikan dampak positif bagi transaksi ekspor. Karena dengan melemahnya nilai tukar Rupiah, para eksportir akan mendapatkan uang masuk yang lebih banyak.  

Mana yang baik, nilai tukar Rupiah melemah atau menguat?

Secara umum, nilai tukar menguat menandakan kondisi perekonomian Indonesia yang semakin bagus dan stabil, dan sebaliknya jika nilai tukar terus melemah, berarti perekonomian Indonesia sdang lesu. Tapiii...

Kalau nilai tukar Rupiah terus menguat, maka dampak yang akan ditimbulkan adalah pada transaksi ekspor. Penguatan nilai tukar Rupiah secara terus menerus akan merugikan transaksi ekspor. Artinya, jika Rupiah terus menguat, maka pendapatan yang diterima negara akan turun, walaupun juga akan memberikan keuntungan dari sisi impor (karena importir membayar biaya yang lebih murah).  Sehingga, kalau Indonesia memiliki banyak transaksi ekspor dan mata uang Rupiah menguat terus, maka hal ini bisa merugikan eksportir, dan bisa memungkinkan adanya defisit neraca perdagangan. 

Sehingga, kalau nilai tukar Rupiah terus menguat, Bank Indonesia (BI) akan mengeluarkan kebijakan2 tertentu, untuk menahan laju penguatan nilai Rupiah.

Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Terhadap Harga Saham

Nilai tukar rupiah secara umum berpengaruh terhadap harga saham. Tetapi, Anda jangan salah mengartikan, bahwa ketika nilai tukar Rupiah hari itu menguat, maka saham2 Anda akan naik. Tidak ada hubungannya sama sekali. Jadi, kalau Anda trader saham, jangan menggunakan informasi nilai tukar Rupiah harian sebagai dasar pengambilan keputusan trading. 

Nilai tukar Rupiah yang menguat mampu memberikan dampak positif pada IHSG akan terasa dalam jangka waktu tertentu, yang tampak dari kebijakan2 ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik dan perbaikan fundamental negara. Ketika nilai tukar Rupiah stabil, dan kebijakan2 pemerintah mampu mendorong perekonomian, maka IHSG juga akan naik.


Salah satu penyebab IHSG naik, salah satunya ditopang oleh data neraca perdagangan. Neraca perdagangan surplus secara umum akan membawa pada kenaikan IHSG dan sebaliknya. Dan neraca perdangan surplus atau defisit, salah satunya juga dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah. 


Katalog produk digital dan jasa freelance indonesia, cek dibawah ini.

Arti dan Ilustrasi Kurs Beli dan Kurs Jual

Arti dan Ilustrasi Kurs Beli dan Kurs Jual

Pagi hari sebelum jam trading, kalau Anda ngopi sambil baca2  berita ekonomi, maka berita ekonomi akan selalu menyajikan kurs beli dan kurs jual. Omong2 soal kurs beli dan kurs jual, apakah Anda sudah tahu cara membaca kurs beli dan kurs jual? Dan apa pengaruhnya ke perekonomian Indonesia? Dan apa pula pengaruhnya ke harga saham? Silahkan baca pos ini sampai habis.  

Kurs beli = Kurs yang digunakan pada saat pihak bank membeli mata uang asing (Saat Anda menjual  mata uang asing).

Kurs jual = Kurs yang digunakan pada saat pihak bank menjual mata uang asing (Saat Anda menjual  mata uang asing).

Kurs tengah = Rata2 kurs beli dan kurs jual

Jadi, untuk memudahkan supaya Anda lebih cepat paham, maka kurs beli dan jual dilihat dari sisi bank. Kalau kurs beli, berarti bank yang beli mata uang asing (masyarakat jual). Kalau kurs jual, berarti bank yang jual mata uang asing (masyarakat beli).

ILUSTRASI (Saya menggunakan ilustrasi kurs Rupiah terhadap USD)

Kurs beli = Rp12.800
Kurs jual = Rp13.000

Cara membaca kurs diatas: Perbankan membeli Rp12.800 uang Anda untuk senilai 1 Dollar (USD). Sedangkan perbankan akan menjual 1 USD senilai Rp13.000. 

Kalau Anda perhatikan, kurs jual selalu lebih besar daripada kurs beli. Hal ini adalah keuntungan yang diperoleh pihak bank. Itulah kenapa kurs jual selalu > kurs beli. Jadi jika mengacu contoh diatas, maka ada selisih kurs jual dengan kurs beli sebesar Rp200. Rp200 inilah yang menjadi keuntungan bank. Kurs jual ditetapkan lebih tinggi ketimbang kurs beli dengan tujuan agar perbankan dan tempat pertukaran uang (money changer) mendapat keuntungan lebih besar dari transaksi jual mata uang asing dibandingkan transaksi beli. 

Pada saat apa kurs beli dan jual digunakan?

Kurs beli digunakan saat Anda mendapatkan uang / penghasilan apapun dari luar negeri dan Anda ingin menukarkan menjadi Rupiah.  Kurs jual digunakan saat Anda ingin menukarkan Rupiah untuk mendapatkan Dollar, saat Anda membeli barang dari luar negeri. 

Contoh Penggunaan Kurs Beli dan Jual 

Perhitungan Penggunaan Kurs Jual

Misalnya, Anda ingin membeli barang dalam mata uang USD sebesar $20, maka Anda harus membeli Dollar terlebih dahulu, menggunakan kurs jual (bukan kurs beli, jangan terbalik). Maka jika mengacu pada contoh diatas, Anda harus mengeluarkan uang dalam Rupiah sebesar: Rp13.000 x 20 = Rp260.000, untuk ditukarkan menjadi mata uang USD (260.000:13.000= @20). .

Perhitungan Penggunaan Kurs Beli

Misalnya, Anda mendapatkan penghasilan online shop dari luar negeri sebesar $100 dan Anda ingin menukarkannya menjadi  Rupiah. Maka yang Anda gunakan disini adalah kurs beli (bukan kurs jual, jangan terbalik). Jika mengacu contoh diatas, maka Anda akan mendapatkan uang rupiah sebesar $100 x Rp12.800 = Rp1.280.000

Itulah pemahaman mengenai kurs beli dan kurs jual mata uang asing. Masuk ke tahap berikutnya: Apa gunanya Anda mengetahui posisi kurs beli dan kurs jual (terutama bagi pengusaha)? Apa pula pengaruhnya ke perekonomian Indonesia? Bagaimana pengaruh penguatan dan pelemahan kurs? Dan apa pengaruhnya ke pasar modal (harga saham)? Baca pos: Nilai Tukar Rupiah Terhadap Sektor Usaha. 


Katalog produk digital dan jasa freelance indonesia, cek dibawah ini.